Bagi bangsa Arab, kelahiran Muhammad adalah kelahiran dari kegelapan
kepada cahaya Arabia untuk pertama kalinya hidup karena kehadirannya
Bangsa-bangsa gembala yang miskin yang terasing di sahara sejak terciptanya dunia
Seorang nabi pahlawan dikirimkan kepada mereka.
Dengan firman yang mereka percaya
Lihat bagaimana gembala-gembala yang tak dikenal menjadi penguasa dunia
Bangsa yang kecil tumbuh menjadi bangsa yang besar
Dan dalam satu abad sesudah itu,
Arabia memanjang sejak Granadha sampai New Delhi
Cemerlang dalam segala cahaya dan kebesaran
Arabia menyinari abad-abad yang panjang pada bagian besar dunia
Imam memang besar dan memberikan kehidupan
Sejarah satu bangsa menjadi tumbuh subur
Menaikkan jiwa besar segera setelah bangsa itu percaya kepada orang Arab ini
Orang ini – Muhammad – dan satu abad saja
Bukankah ini sebuah percikan yang jatuh dari langit
Kepada dunia padang pasir yang tidak dikenal dan kelabu
Dan lihatlah, padang-padang pasir itu berubah
menjadi amunisi yang meledak
Dan sinarnya naik ke langit,
sejak Delhi hingga Granadha.
(Thomas Carlyle)
Ucapan Thomas Carlyle di atas sering dikutip Bung Karno dengan
farafrase sendiri, kedatangan Muhammad ke negeri Arab seperti jatuhnya
percikan api ke tengah Sahara. Terjadi ledakan besar, sehingga merah
rona angkasa dari Delhi ke Granada.
Bung Karno mengutipnya dari buku Thomas Carlyle dalam terjemahan Belanda, Helden en Helden Vereering. Di
situ Carlyle melukiskan jenis-jenis pahlawan. Muhammad Saw
ditempatkannya dalam kategori Pahlawan sebagai Nabi. Dalam teori
perubahan sosial, Carlyle termasuk penganut the great man theory. Berbeda
dengan kaum materialis, yang menganggap perubahan teknologi dan
distribusi barang dan jasa sebagai sumber perubahan sosial, berbeda
dengan kaum idealis yang menyatakan bahwa gagasanlah yang menimbulkan
per-ubahan sosial, the great man theory meletakkan pahlawan sebagai sumber dari segala perubahan. Pahlawan ada-lah manusia besar yang mengubah sejarah umat manusia.
“And I said: the great man always acts like a thunder. He storms the skies, while others are waiting to be stor-med,” kata
Carlyle ketika merumuskan teorinya tentang Manusia Besar. Aku katakan
bahwa manusia besar selalu seperti halilintar yang membelah langit, dan
manusia yang lain hanya menunggu dia seperti kayu bakar.
Apakah perubahan besar yang dilakukan Nabi Muhammad saw? Gerangan
percikan cahaya langit apakah yang me-ngubah gembala unta di Sahara
menjadi penakluk-penakluk dunia? Kita dapat membuat daftar panjang:
- dari syirik ke tauhid
- dari kepongahan ras ke persamaan
- dari kejahilan ke ilmu pengetahuan
- dari kezaliman ke keadilan
- dari perpecahan ke persaudaraan
- dari keserbabolehan ke kesucian
- dari penindasan perempuan ke penghormatan
Dalam tulisan singkat ini, kita akan menengok sekilas pada dua butir yang pertama.
Dari Syirik ke Tauhid Masyarakat jahiliyah disebut al-Quran sebagai
kaum musyrikin. Mereka memuja berbagai berhala. Bukan hanya berhala dari
kayu dan batu. Gemintang, pepohonan, unta, kepala suku, jin, tradisi
leluhur, atau apa saja dapat diberhalakan. Berhalaberhala itu telah
membelenggu masyarakat, membungkam kebebasan berbicara, mematikan
pikiran kritis, dan melumpuhkan perlawanan kepada tirani. Manusia
mempersembahkan kepasrahan dirinya kepada banyak berhala. Karena itu,
mereka takut kepada banyak hal. Jiwa mereka gelisah karena harus
mentaati banyak tuhan.
Dari puncak bukit Hira turun Sang Rasul. Ia membawa firman Tuhan: Tidaklah mereka diperintah ke-cuali menyembah Allah saja dengan mengikhlaskan agama bagi-Nya (QS. 98:5); dan Tuhan kamu adalah Tuhan yang satu, tidak ada Tuhan kecuali Dia Yang Mahakasih Mahasa-yang (QS.
2:163). Sekarang bangsa Arab meninggalkan semua berhala dan menyerahkan
dirinya kepada Allah saja. Mereka tidak memuja siapa pun kecuali Allah.
Mereka tidak mencintai siapa pun dengan puncak kecintaan selain
Allah. Harga diri mereka timbul. Ketakutan hilang. Kegelisahan
digantikan dengan ketentraman.
Ketika pasukan umat Islam bergerak menuju Persia, seorang sahabat
diutus untuk menemui Pangli-ma Rustam di istananya. Panglima ini
dilaporkan sem-pat mengejek tentara Islam dengan mengatakan: “Buat
menyambut para gembala unta, cukuplah aku kirimkan gembala-gembala
babi.” Ia mengira bangsa Arab yang dihadapinya adalah bangsa yang belum
diubah dari syirik ke tauhid. Utusan pasukan Islam datang dengan pakaian
yang lusuh dan mengendarai keledai. Ia masuk ke istana dengan penuh
kepercayaan diri. Keledainya diseret ke dalam balai pertemuan dan diikat
pada salah satu kursi di istana.
Rustam bertanya, “Bangsa macam apakah kalian ini?” Sahabat itu menjawab, “Nahnu qawmun ib-ta’atsana Allah li yukhrijan Nas minazh Zhulumat ilan Nur, min jauwril adyan ila ‘adlil Islam, min ‘ibadatil ‘ibad ila ibadatillahi wahdah. Kami
adalah bangsa yang dipilih Tuhan untuk mengeluarkan manusia dari
kegelapan kepada cahaya, dari kezaliman berbagai agama kepada keadilan
Islam, dari penghambaan kepada hamba ke penghambaan kepada Allah saja.
Ketika orang-orang Persia menghinanya dengan mengunggokkan tanah di
atas punggungnya, utusan ini tertawa gembira: “Lihat, mereka telah
menye-rahkan tanahnya kepada kita.” Kelak bangsa Persia bukan hanya
menyerahkan tanahnya, mereka juga menyerahkan hatinya untuk Islam.
Seorang pemikir Persia, ‘Ali Syari’ati, dalam Rasulullah saw: Sejak Hijrah hingga Wafat,
menulis tentang keberhasilan Nabi saw dalam mencabut akar-akar
kemusyrikan dengan meletakkannya pada perspektif masa depan umat:
Akar-akar kemusyrikan telah di-cerabut dari seluruh penjuru Jazirah Arabia. Bait Umat Manusia yang didirikan oleh Bapak Agama yang Lurus, Ibrahim, telah disucikan diri dari noda-noda keber-halaan, dan hukum Allah dan manusia telah tertanam pula dalam kehidupan masyarakat yang saling bersaudara satu sama lain. Namun Muhammad cukup sadar untuk tidak silau oleh kemenangan-kemenangan yang diraihnya. Dia adalah orang yang mampu memahami umatnya lebih da-ri siapapun, dan dapat melihat dengan jelas adanya api kemunafikan, dendam kekabilahan, semangat primordial dan moral jahili yang bersembunyi di belakang tabir persa-tuan umatnya yang telah dibentuk oleh ke-kuatan iman dan tajamnya pedang politik.
Muhammad sadar betul bahwa, kendati dia mampu menyatukan para pemimpin kabilah dan pembesar-pembesar Quraisy di bawah panji Islam, namun pendidikan jiwa, penanaman keimanan yang baru di dalam kalbu dan akal umat, dan pematangan sikap beragama yang baru di-pisahkan dua puluh tahun dari akal-akal jahiliahnya itu, tidak bisa tidak, masih mem-butuhkan waktu yang sangat lama dan mesti melalui beberapa generasi.
Nabi, sejak semula, sudah menyadari adanya ancaman-ancaman tersebut. Namun yang lebih ditakutkannya adalah masa depan umat-nya yang belum lama diikat oleh tali persaudaraan keimanan dan yang masih silau dengan kemenangan-kemenangan yang diraihnya bila dia tinggalkan nanti.
Sang ayah akan segera meninggalkan alam semesta ini. Akan tetapi bagaimana nasib bocah yang usianya baru dua puluh tahun dan yang dalam tubuhnya mengeram ratusan penyakit itu, sedangkan dia harus berdiri pada kedua telapak kakinya sendiri sesudah ayahnya meninggal seraya harus menghadapi angin kencang yang menerjang dirinya dari segala penjuru?
Dengan cara apakah sang Ayah melindungi masyarakat Islam yang bocah ini dari bahaya terbentuknya berhala baru? Ia mengamanatkan kepada umatnya untuk mengikuti pembawa agama yang tidak memasukkan kepentingan yang rendah pada ajaran agama, kepada mereka yang dibersihkan dari segala nista dan di-sucikan Allah sesuci-sucinya, kepada Ahlul Bait yang disebutkan dalam al-Ahzab 33. Ia bersabda: “Aku
tinggalkan bagi kamu dua pusaka yang jika kamu berpegang teguh
kepa-danya kamu tidak akan sesat selamalamanya: Kitab Allah dan Ahli
Baitku.” Mazhab Ahlul Bait adalah mazhab yang ditegakkan di atas tauhid murni kecintaan sejati hanya dipersembahkan kepada Allah Swt.
Dari Kepongahan Ras kepada Persamaan Karena suku-suku bangsa ini terasing di Sahara, mereka mengembangkan kecintaan kepada suku sebagai cara agar mereka bertahan hidup. Kesetiaan kepada suku kemudian berkembang menjadi kebang-gaan rasial. Mereka senang menghitung prestasi-prestasi sejarah yang diukir oleh nenek-moyangnya. Dari keturunan siapa mereka berasal dijadikan ukuran derajat mereka. Karena itu, dalam bahasa Arab keturunan disebut juga sebagai hasab (berasal dari hasiba, menghi-tung).
Nabi Saw menghapuskan kebanggaan ras atau etnis. Satu-satunya ukuran kemuliaan adalah amal saleh. Ia menyampaikan firman Tuhan: Bagi setiap orang derajat berdasarkan amal yang dilakukannya (QS. 6:132). Hakikat kemanusiaan tidak terletak dalam darah tetapi pada akhlaknya. Secara perlahan-lahan, Nabi saw me-motong satu demi satu tonggak kepongahan ras.
Ia memotong kebiasaan pernikahan yang di-dasarkan kepada kesederajatan dalam keturunan. Ia menikahkan budak-budak belian dengan perempuan bangsawan. Ia bersabda: Aku menikahkan Zaid bin Haritsah kepada Zainab binti Jahasy dan aku menikahkan Miqdad kepada Dhiba’ah binti Zubair bin Abdil Muthallib supaya mereka mengetahui bahwa kemuliaan yang paling tinggi adalah islam dan bahwa yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bagus keislamannya (Kanz al-Ummal 313; Makarim al-Akhlaq, 1:452-1546).
Ia memotong kebiasaan orang Arab untuk me-rendahkan orang ‘Ajam dengan memberikan penghormatan kepada para sahabat yang berasal dari luar Arab, seperti Salman al-Farisi.
Pada suatu hari Salman sedang duduk bersama orang-orang Quraisy di Mesjid. Mereka sedang membangga-banggakan keturunan mereka secara bergiliran. Ketika sampai kepada Salman, Umar bin Khattab berta-nya kepadanya: “Katakan kepadaku siapa kamu? Siapa bapakmu? Apa asal-usulmu?” Salman menjawab: “Aku Salman anak hamba Allah. Dahulu aku tersesat, lalu Allah memberikan petunjuk kepadaku melalui Mu-hammad saw. Dahulu aku miskin, lalu Allah memper-kaya aku dengan Muhammad. Dahulu aku budak, lalu Allah membebaskan aku dengan Muhammad. Inilah nasabku dan inilah hasab-ku.”
Ketika Nabi keluar dan menemukan Salman berbicara kepada mereka, Salman berkata kepada Nabi: “Ya Rasulullah, ingin aku adukan apa yang aku dapat-kan dari mereka. Aku duduk bersama mereka dan mereka mulai menjelaskan nasab mereka dan membanggabanggakannya. Ketika sampai kepadaku, Umar bin Khattab berkata kepadaku: ‘Katakan kepadaku siapa kamu? Siapa bapakmu? Apa asal-usulmu?’ Aku men-jawab: ‘Aku Salman anak hamba Allah. Dahulu aku tersesat, lalu Allah memberikan petunjuk kepadaku dengan Muhammad. Dahulu aku miskin, lalu Allah memperkaya aku dengan Muhammad. Dahulu aku budak, lalu Allah membebaskan aku dengan Muhammad. Inilah nasabku dan inilah hasabku.” Rasulullah saw bersabda: “Hai orang-orang Quraisy sesungguhnya hasab manusia itu adalah agamamu, jati dirinya adalah akhlaknya, dan asal-usulnya adalah akalnya. Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya
Kami menciptakan kamu laki-laki dan perempuan dan kami menjadikan kamu
berbagai suku bangsa dan golongan supaya kamu saling mengenal.
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling takwa.”
Selanjutnya Nabi saw berkata kepada Salman: Tidak ada seorangpun di antara mereka yang lebih utama dari kamu kecuali karena ketakwaan kepada Allah. Jika kamu lebih takwa maka kamu lebih utama di atas mereka.” (Bihar al-Anwar, 22:511).
Kepada Salman, Nabi Saw juga menyampaikan sabdanya yang terkenal, “Salman dari kami
Ahlul Bait”.
Pada zaman Imam Ja’far al-Shadiq, al-Fadhl dengan bapaknya ‘Isa dari
keturunan Bani Hasyim me-nemui Imam Ja’far. ‘Isa bertanya: “Betulkah
ucapan Rasulullah saw bahwa Salman seseorang dari kami Ahlul Bait?” Ia
menjawab: “Betul.” Ia bertanya: “Jadi dari keturunan Abdul Muthallib?”
Ia menjawab: “Dari kami Ahlul Bait.” Ia bertanya lagi: “Jadi dari
keturunan Abu Thalib?” Ia berkata: “Dari kami Ahlul Bait.” ‘Isa berkata
kepada Imam: “Aku tidak mengenal (silsilah) dia.” Imam Ja’far berkata:
“Ketahuilah, hai ‘Isa, bahwa Salman dari kami Ahlul Bait.” Kemudian Imam
merapatkan tangannya ke dadanya seraya berkata: “Hubungan itu tidaklah
seperti anggapan kalian. Sesungguhnya Allah menciptakan tanah kami dari
tempat yang tinggi dan menciptakan tanah untuk golo-ngan kami di bawah
itu. Mereka termasuk golongan kami. Tuhan menciptakan tanah untuk
penciptaan musuh kami dari Sijjin, tempat yang paling rendah dan
menciptakan golongan mereka di bawah itu. Mereka termasuk golongan
mereka. Salman lebih baik dari Luqman.” (Bihar al-Anwar, 22:481).
Salman termasuk di antara tonggak-tonggak yang meperkokoh mazhab
Ahlul Bait. Tonggak-tonggak lainnya adalah Miqdad, Ammar bin Yasir, dan
Abu Dzarr. Semuanya tidak berasal dari Bani Hasyim, tetapi mereka semua
diciptakan dari bahan tanah yang sama. Pada suatu hari terjadilah
perdebatan antara Abu Dzarr dengan salah seorang budak yang berkulit
hitam. Abu Dzarr melontarkan kalimat: “Hai anak pe-rempuan hitam.”
Mendengar itu Nabi saw menepuk bahu Abu Dzarr, “Thafa sha’.
Keterlaluan kamu Abu Dzarr. Tidak ada kelebihan orang putih di atas
orang hitam, tidak ada kelebihan orang Arab di atas orang ‘Ajam kecuali
karena amal salehnya.” Mendengar itu, Abu Dzarr merapatkan kepalanya ke
tanah. Ia meminta kawannya itu menginjak kepalanya sebagai tebusan atas
kepongahan ras yang secara tidak sengaja tampak keluar dari mulutnya.
Misi Rasulullah Saw itu dilanjutkan oleh para pengikutnya sepanjang
sejarah. Sekali-kali kebiasaan jahiliyah muncul, tetapi para mukmin yang
saleh me-ngembalikannya lagi pada Sunnah Nabi. Pada zaman Umayyah,
misalnya, dibedakan antara orang Arab de-ngan bukan Arab. Tetapi tradisi
Umawiyyin ini tidak berbekas banyak pada kaum Muslimin. Suatu saat para
budak berhasil merebut kekuasaan dan mendirikan kerajaan Islam dengan
nama Dinasti Budak (Mamluk).
Ketika Declaration of Human Rights dikumandangkan, umat
Islam disadarkan kembali pada warisan mulia dari Nabi mereka. Warisan
yang terkadang kita onggokkan dalam puing-puing sejarah keemasan Islam.
Simaklah bagaimana Syaikh Ja’far Subhani menulis pada kalimat-kalimat
terakhir bukunya, Risalah: Sejarah Kehidupan Rasulullah saw:
Beliau menegakkan hak-hak manusia ketika hak-hak itu sedang
diserobot; beliau melaksanakan keadilan ketika kezali-man merajalela di
mana-mana; beliau memperkenalkan kesamaan ketika diskriminasi yang tak
semestinya sedang lumrah; beliau memberikan kebebasan ketika ma-nusia
sedang berkeluh kesah dalam penindasan, kekejaman dan ketidakadilan.
Beliau membawa risalah yang mengajarkan manusia untuk taat dan
bertakwa kepada Allah saja, memohon pertolongan dari Dia saja.
Risalahnya yang univer-sal meliputi semua aspek kehidupan manusia,
termasuk hak-hak, keadilan, persamaan, dan kebebasan.
Inilah risalah yang manusia, sekali lagi, telah kehilangan
bimbingannya. Maka, mengapakah kita tidak datang lagi ke bawah
naungannya agar umat manusia terselamatkan dari kehancuran dan dapat
mencapai kedamaian, kemajuan dan kebahagiaan. Semoga shalawat dan salam
Ilahi tercurah kepada beliau, keluarganya serta para sahabatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar